Pages

Subscribe:

Mengenai Saya

Foto saya
Kami mahasiswi Fkip Geografi Unlam, Nurul Huda, Lely Adriani Nasution dan Nuria Fajarina.

Rabu, 26 Desember 2012

BENARKAH IONOSFER DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MEMBUAT GEMPA BUATAN?




Gambar 1. Rangkaian antena radar HF yang dioperasikan oleh proyek HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program) di Gakona, Alaska.


1. Pendahuluan

Setiap kali terjadi gempa, terutama gempa-gempa besar, selalu ada sisi lain media massa yang menghubungkannya dengan modifikasi cuaca antariksa yang dibuat oleh HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program) Project, suatu proyek penelitian kerjasama Universitas Alaska dengan Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat, serta DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency). Informasi yang diperoleh dari website HAARP (http://www.haarp.alaska.edu/) menyatakan bahwa proyek tersebut bertujuan untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang lapisan ionosfer, baik sifat-sifat fisis maupun perilakunya sehingga dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan operasional sistem komunikasi dan pengawasan (surveillance), untuk kepentingan sipil maupun pertahanan. Tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut tentang kontroversi proyek HAARP berkaitan dengan setiap peristiwa gempa, tapi akan membahas dari sisi penelitian ionosfernya, mengingat Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai lembaga pemerintah, sudah berpuluh tahun yang lalu juga melakukan penelitian ionosfer melalui kegiatan-kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa.

Ionosfer adalah bagian dari atmosfer yang melingkupi bumi kita, pada ketinggian antara 50 km sampai dengan 1000 km, dimana didalamnya terdapat partikel-partikel bermuatan yang dinamis dan sangat dipengaruhi radiasi ultra violet dari matahari. Ketika radiasi ultra violet matahari mencapai atmosfer bumi maka radiasi tersebut akan memberikan energi kepada atom atau molekul netral yang terdapat di atmosfer bumi, sehingga satu elektronnya terlepas, hingga menyebabkan atom atau molekul menjadi bermuatan positif. Proses demikian disebut dengan proses fotoionisasi (pembentukan) dan proses tersebut hanya dapat berlangsung pada siang hari, ketika ada sinar matahari. Keberadaan ion-ion positif dan negatif inilah yang membuat lapisan tersebut dinamakan ionosfer. Proses sebaliknya, disebut dengan proses rekombinasi (penghancuran). Pada proses rekombinasi, elektron yang terlepas bergabung kembali membentuk atom atau molekul netral. Selain proses fotoionisasi dan rekombinasi, ada proses lain yang juga berpengaruh pada perilaku lapisan ionosfer, yaitu proses perpindahan partikel yang terjadi misalnya karena pengaruh perubahan medan listrik atau medan magnet bumi. Perpindahan partikel ini juga berpengaruh pada karakteristik lapisan ionosfer secara umum.

Ketika gelombang elektromagnetik mencapai lapisan ionosfer sebagian energinya akan diserap oleh lapisan tersebut dan sebagian lagi akan dipantulkan sehingga kembali lagi ke bumi dan sebagian lainnya akan menembus lapisan ionosfer ke angkasa luar. Kemampuan ionosfer dalam memantulkan gelombang elektromagnetik dapat dimanfaatkan untuk operasional sistem komunikasi dan sistem pengawasan. Berkaitan dengan komunikasi radio, parameter ionosfer yang penting dipahami adalah kerapatan elektron, karena kemampuan ionosfer memantulkan gelombang elektromagnetik sangat dipengaruhi oleh parameter tersebut. Semakin tinggi kerapatan elektron, semakin tinggi pula frekuensi yang dapat dipantulkannya. Frekuensi tertinggi yang dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer dikenal sebagai frekuensi kritis lapisan ionosfer (foE, foF1, dan foF2).


Gambar 2. Rangkaian antena radar HF dan ionogram hasil pengamatannya yang

dioperasikan LAPAN.






Hasil-hasil penelitian dengan memanfaatkan radar HF (ionosonda) yang dioperasikan LAPAN menunjukkan adanya variasi yang sifatnya reguler dari parameter frekuensi kritis lapisan F2 (foF2), yaitu variasi harian, variasi musiman, variasi jangka panjang, dan variasi akibat perbedaan lokasi. Pemahaman akan berbagai sifat dan

variasi dari lapisan ionosfer tersebut ditambah lagi dengan pemahanan tentang ketidakstabilan lapisan ionosfer (misalnya E sporadis dan spread F) akan bermanfaat untuk mitigasi gangguan komunikasi dan sistem pengawasan yang disebabkan aktivitas matahari (flare, CME, SEP, CIR, dan lain-lain). Caranya adalah dengan memasukkan faktor pengaruh aktivitas matahari tersebut ke dalam model prediksi maupun model lapisan ionosfer sehingga akurasi model akan meningkat. Kemampuan lapisan ionosfer memantulkan gelombang elektromagnetik ini juga yang dianggap dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan gempa. Benarkah demikian?


2. Penelitian lapisan ionosfer dikaitkan dengan kejadian gempa

Kembali ke proyek HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program); Beberapa alat untuk memonitor kondisi fisis lapisan ionosfer dan magnetosfer telah dioperasikan untuk melihat pengaruhnya terhadap sistem komunikasi dan navigasi. Alat-alat tersebut antara lain riometer, magnetometer, digisonda, all-sky imager, teleskop, radar, alat penerima sintilasi ionosfer, GPS TEC meter, HF sampai UHF monitor, serta penerima gelombang ELF/VLF. Dengan memonitor keluaran dari masing-masing alat tersebut setiap hari kemudian dihubungkan dengan kondisi propagasi gelombang radio maka akan diperoleh informasi tentang karakteristik dan perilaku lapisan ionosfer.

Pusat Sains Antariksa LAPAN juga telah memanfaatkan beberapa alat seperti yang dioperasikan HAARP antara lain teleskop untuk penelitian fisika matahari, magnetometer untuk melihat dinamika lapisan magnetosfer, kemudian all-sky imager, radar, ionosonda, GPS TEC meter, penerima sintilasi ionosfer, dan direncanakan dalam tahun ini akan dioperasikan alat penerima gelombang VLF. Hal yang sangat berbeda dari peralatan penelitian lapisan ionosfer dalam proyek HAARP dibandingkan proyek lainnya, terutama program penelitian di LAPAN adalah digunakannya sistem pemancar dengan daya yang besar dan rangkaian antenna dipol yang juga sangat besar.

Dengan memanfaatkan pemancar gelombang radio HF (High Frequency) berdaya tinggi (3,6 juta Watt) yang diterima oleh suatu sistem antena dipol ke arah atas, sebagian sinyal diserap oleh lapisan ionosfer pada ketinggian tertentu (tergantung pada frekuensi kerja yang digunakan), maka ingin diketahui bagaimana lapisan ionosfer memberikan respon terhadap sinyal tersebut. Intensitas sinyal HF (High Frequency) dalam lapisan ionosfer kurang dari 3 mikro Watt/cm2, puluhan ribu kali lebih kecil dari radiasi elektromagnetik matahari yang mencapai bumi dan ratusan kali lebih kecil dari intensitas energi ultra violet matahari yang membentuk lapisan ionosfer. Dengan demikian tidak beralasan kalau intensitas sinyal HF (High Frequency) tersebut ketika dipantulkan kembali ke bumi akan menyebabkan terjadinya gempa. Besarnya daya yang digunakan dalam pemancar lebih disebabkan oleh pertimbangan teknis yaitu untuk menghindarkan terjadinya gangguan interferensi pengguna gelombang radio yang lain.

Masih berkaitan dengan kejadian gempa, sebenarnya lapisan ionosfer banyak diteliti bukan karena dapat dimanfaatkan untuk membuat gempa buatan, tetapi berdasarkan hasil-hasil penelitian diketahui bahwa sebelum gempa terjadi, lapisan ionosfer menunjukkan adanya kelainan (anomaly). J.Y. Liu., dkk (2004) menemukan adanya anomaly TEC (Total Electron Content) yang diturunkan dari data GPS untuk kejadian gempa dengan magnitude lebih besar dari 6 skala Richter, dari September 2009 sampai dengan Desember 2002. Hasil serupa juga diperlihatkan untuk peristiwa gempa Aceh, Desember 2004 dan Maret 2005 (Sarmoko. S., dkk, 2007). LAPAN juga terlibat aktif dalam penelitian prekursor gempa dengan mengadakan International Workshop on Seismo Electromagnetic Phenomena (IWSEP) bekerjasama dengan LIPI dan Chiba University (Jepang). Tidak berhenti sampai disitu, saat ini Pusat Sains Antariksa LAPAN berencana akan mengoperasikan penerima gelombang VLF, yang salah satu manfaatnya adalah untuk penelitian prekursor gempa.

Di lapisan atmosfer atas bumi terdapat lapisan magnetosfer dengan berbagai fenomena gelombang yang penting dipelajari karena pengaruhnya terhadap perilaku magnetosfer sendiri dan sebagian dapat digunakan sebagai sarana untuk mengamati atmosfer atas. Salah satu yang penting untuk dipelajari adalah adanya gelombang whistler. Radiasi mode whistler terdiri dari gelombang elektromagnetik yang memiliki batas atas frekuensi cutoff yang juga merupakan frekuensi plasma (fp) atau gyrofrekuensi (fg). Gelombang whistler dibangkitkan oleh aktivitas petir yang kemudian menjalar sepanjang garis-garis medan magnet dan akan terdispersi sehingga terekam sebagai spektrum whistler.


Gambar 3. Ilustrasi gelombang Whistler





Dengan menganalisis kurva dispersi gelombang whistler maka akan diperoleh informasi mengenai mediumnya yaitu magnetosfer meliputi densitas elektron, Total Electron Content (TEC), dan medan listriknya. Beberapa fenomena yang terjadi berkaitan dengan kelistrikan di lapisan ionosfer antara lain disebabkan oleh flare, sinar cosmic gamma, Lightning Induced Elektron Precipitation (LEP), dan Sprite, Elves, serta Blue Jets.


Gambar 4. Mekanisme terjadinya sprite, elves, dan blue jets



Pengamatan gelombang VLF subionosfer akan memberi informasi tentang lapisan bawah ionosfer yang tidak dapat teramati oleh alat lainnya, karena densitas elektron malam hari lapisan D umumnya sekitar 1 s.d 10 el/cc, radar HF atau VHF tidak dapat mengamati lapisan D pada malam hari, ketinggian pantulan gelombang VLF menjalar dalam lapisan ionosfer adalah sekitar 85 km, dan amplitudo/Phase sinyal VLF sangat sensitif terhadap konduktivitas.

Pengamatan gelombang VLF bertujuan untuk memahami mekanisme pembentukan dan penjalaran gelombang VLF di lintang rendah, mengamati tren jangka panjang parameter

seperti densitas elektron, TEC, dan medan listrik selama periode matahari aktif maupun tenang, memahami keterkaitan antara aktivitas gelombang VLF dan aktivitas geomagnet, mengamati lapisan ionosfer bawah, petir, dan thunderstorm, serta meneliti kemungkinan gelombang VLF sebagai prekursor gempa bumi.


3. Alat penerima gelombang VLF

Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa dalam waktu dekat akan menambah satu lagi alat yang akan medukung penelitian lapisan ionosfer yaitu alat penerima gelombang VLF. Komponen utama alat ini terdiri dari antenna, tuning antenna, penerima (receiver), generator sinyal, data logging, dan starbase controller.

Secara sederhana alat ini memanfaatkan karakteristik lapisan D ionosfer. Seperti diketahui bahwa pada lapisan D, proses ionisasi sangat tergantung pada radiasi matahari siang hari, sehingga gelombang VLF akan dapat dipantulkan secara baik . Sedangkan pada malam hari karena radiasi mulai berkurang maka gelombang VLF tidak dapat dipantulkan dengan baik. Penjalaran gelombang VLF akan berbeda lagi saat terjadi flare, dimana pada lapisan D terjadi peningkatan proses ionisasi, bahkan terjadi gangguan di lapisan ionosfer yang disebut dengan istilah Sudden Ionospheric Disturbance (SID). Hal yang serupa tentu akan terdeteksi pada sinyal gelombang VLF bila akan terjadi gempa. Oleh karena itu data penerima sinyal VLF setiap saat dapat digunakan untuk memonitor kondisi lapisan ionosfer dan diharapkan akan memberi informasi tentang prekursor gempa.

Berikut adalah beberapa contoh data sinyal hasil penerima gelombang VLF yang dapat menggambarkan kondisi lapisan ionosfer :


Gambar 5. Grafik kuat sinyal gelombang VLF terhadap waktu.



Terlihat dari Gambar 5 kuat sinyal pada malam hari sedikit berfluktuasi dan mencapai titik terendah pada sekitar jam 06:00 UT. Radiasi matahari yang mulai mencapai permukaan bumi pada jam-jam berikutnya juga terlihat responnya pada data sinyal VLF.


Gambar 6. Grafik kuat sinyal gelombang VLF terhadap waktu.



Gambar 6 menunjukkan respon sinyal gelombang VLF terhadap flare kelas A sampai C. Flare yang terjadi pada sekitar jam 11:00 UT didahului oleh adanya penurunan tajam dalam kuat sinyal gelombang VLF, kemudian diikuti proses recovery yang lambat. Untuk peristiwa flare dengan kelas yang lebih besar (kelas X) tentu saja penurunan tajam kuat sinyal juga akan terjadi dan proses recoverynya akan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan responnya terhadap flare kelas A sampai C seperti terlihat pada Gambar 7. Dengan metode yang sama, data kuat sinyal VLF ini dapat dimanfaatkan untuk penelitian prekursor gempa.


Gambar 7. Grafik kuat sinyal gelombang VLF terhadap waktu.



4. Kesimpulan

Dari keseluruhan tulisan ini dapat disimpulkan bahwa penelitian lapisan ionosfer semata untuk memahami karakteristik fisik dan perilakunya baik yang sifatnya teratur maupun tidak teratur sehingga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi gangguan sistem komunikasi, navigasi, maupun pengawasan, terutama yang disebabkan oleh aktivitas matahari. Selain itu pemahaman tentang adanya respon ionosfer terhadap gempa juga akan bermanfaat dalam penelitian prekursor gempa. Perannya sebagai prekursor gempa saja masih dalam penelitian, bagaimana mungkin ionosfer dapat digunakan untuk membuat gempa?

Aurora




Konon kata mbah-mbah yang meneliti ionosfer, fenomena alam di atmosfer atas yang pertama kali teramati adalah aurora. Itu lho munculnya sinar warna-warni yang bentuknya macam-macam. Ada yang lengkung, garis, seperti lembaran, dll yang terlihat pada malam hari di angkasa. Menurut legenda-legenda Yunani dan Cina, aurora itu dianggap sebagai penampakan dari dewa/penguasa alam semesta.
Aurora sendiri sebenarnya sudah bikin penasaran orang sejak tahun 1500 an. Beberapa teori tentang aurora diberikan oleh beberapa ahli. Edmund Halley yang sukses memprediksi kemunculan komet pernah memberi teori bahwa aurora itu uap air encer yang tersublimasi oleh pemanasan yang dengannya terkandung juga sulfur yang akan menghasilkan kilauan sinar warna-warni di atmosfer. Tahun 1746, Leonard Euler (Swiss) menyatakan bahwa aurora adalah partikel dari atmosfer bumi yang melampaui ambang batasnya akibat cahaya matahari dan selanjutnya naik ke ketinggian beberapa ribu mil. Di daerah kutub partikel-partikel ini tidak akan terdispersi akibat perputaran bumi. Orang ketiga yang berusaha menjelaskan tentang aurora adalah Benjamin Franklin. Pak Benjamin mengatakan bahwa aurora berkaitan dengan sirkulasi di atmosfer. Lebih lanjut Pak Ben menjelaskan bahwa atmosfer di daerah kutub lebih tebal/berat dan lebih rendah dibandingkan dengan di daerah ekuator karena gaya sentrifugalnya (gaya akibat rotasi) lebih kecil. Elektrisitas (kelistrikan) yang dibawa awan ke daerah kutub tidak akan dapat menembus es sehingga akan terputus melewati atmosfer bawah kemudian ruang hampa menuju ke ekuator. Elektrisitas akan kelihatan lebih kuat di daerah lintang tinggi dan sebaliknya di lintang rendah. Hal itulah yang akan tampak sebagai Aurora Borealis. Sebenarnya selama seratus lima puluh tahun terakhir banyak teori lain tentang aurora ini, antara lain bahwa aurora terjadi karena pemantulan sinar matahari oleh partikel-partikel es, pemantulan sinar matahari oleh awan, uap air yang mengandung sulfur, pembakaran udara yang mudah terbakar, pancaran partikel magnetik, debu meteor yang terbakar akibat gesekan dengan atmosfer, thunderstorm, listrik yang timbul antara dua kutub magnet bumi, dll.
Sekitar tahun 1800 an karakteristik aurora mulai diketahui. Seorang ilmuwan Inggris bernama Cavendish berhasil menghitung ketinggian aurora yaitu antara 52 s.d 71 mil (83 km s.d 113,6 km). Tahun 1852 diketahui bahwa ada hubungan antara aktivitas geomagnet, aurora, dan sunspot dimana frekuensi dan amplitudo ketiganya berfluktuasi dengan periode yang hampir sama yaitu 11 tahunan. Tahun 1860, Elias Loomis berhasil membuat diagram yang menunjukkan daerah dengan kejadian aurora paling banyak. Dari temuannya itu diketahui bahwa ternyata aurora berhubungan dengan medan magnet bumi. Angstrom, seorang ilmuwan Swedia, pada tahun 1867 berhasil melakukan pengukuran spektrum-spectrum dari aurora. Penelitian tentang aurora semakin menemukan titik terang ketika seorang fisikawan Inggris J.J. Thomson berhasil menemukan elektron dan fisikawan Swedia Kristian Birkeland menyatakan bahwa aurora disebabkan oleh sinar dari elektron yang diemisikan matahari. Ketika elektron-elektron itu sampai ke bumi akan dipengaruhi oleh medan magnet bumi, dan terbawa ke daerah lintang tinggi dan terjadilah aurora.
(Courtesy : science.nasa.gov ; Robert W.Schunk and Andrew F. Nagy)

Gangguan Lapisan Ionosfer

Gangguan di lapisan ionosfer ada dua yang utama yaitu : 




1. Sudden Ionospheric Disturbances (SID)

Gangguan yang terjadi di lapisan ionosfer akibat pengaruh aktivitas matahari (solar flare dan CME).

Akan mencapai bumi setelah 8,3 menit dari kejadian flare. Durasinya 10 menit s.d. 1 jam.

Akan terjadi peningkatan penyerapan di lapisan D pada daerah yang mengalami siang hari. Kerapatan elektron di lapisan ionosfer bawah mengalami peningkatan. 


1a. Short Wave Fadeout (SWF).



Saat terjadi flare, kerapatan elektron lapisan D akan meningkat dan penyerapan juga meningkat sehingga LUF pun akan naik. Jadi frekuensi gelombang radio HF rendah akan mengalami gangguan dari orde 10 menit sampai 1 atau 2 jam. Bahkan ketika absorpsinya sangat kuat, seluruh frekuensi akan tertutup sehingga terjadi apa yang disebut Short Wave Blackout (SWB).


1b. Sintilasi


    

Sintilasi berupa gangguan pada amplitude, phase, dan atau polarisasi sinyal satelit yang terjadi secara cepat dan acak yang disebabkan oleh adanya ketidakteraturan kerapatan elektron skala kecil. Akibatnya terjadi fading dan penyimpangan data. Efek sintilasi cenderung bersifat local. Di lintang rendah dampaknya akan berupa kehilangan sinyal yang dipancarkan satelit tertentu.  

Sintilasi terjadi secara significant pada rentang 20o (LU/LS) di ekuator geomagnet. Sesaat setelah matahari terbenam dan sesudah tengah malam adalah saat sintilasi terkuat terjadi. Akan lebih kuat lagi bila aktivitas matahari sedang meningkat.


2. Polar Cap Absorption (PCA)


Dampaknya akan mencapai bumi setelah 15 menit s.d beberapa jam dari terjadinya flare, dengan durasi 1-2 hari, bahkan kadang-kadang sampai beberapa hari. 

PCA akan meningkatkan absorpsi di lapisan D, terutama di wilayah kutub.




3. Badai Ionosfer



Badai ionosfer terjadi sesaat setelah terjadi CME. Peningkatan partikel akibat CME akan menyebabkan terjadi gelombang kejut pada angin surya, sehingga partikel yang dipengaruhi medan magnet matahari tersebut akan mengikuti lintasan spiral menjauhi matahari. Badai ionosfer dampaknya akan mencapai bumi setelah 20-40 jam, dengan durasi 2-5 hari.


Dampak badai ionosfer berupa peningkatan absorpsi di lapisan D, penurunan Maximum Usable Frequency (MUF) di lapisan F2, terjadinya aurora di lintang tinggi, serta terjadinya E sporadis (Es).    


4. Traveling Ionosphere Disturbances (TID)

Dikenal juga dengan istilah gelombang gravitas akustik, yang menjalar horizontal di lapisan F ionosfer. Terlihat sebagai suatu arus/aliran yang besar yang memiliki skala menyamping sampai ratusan km. TID akan menyebabkan osilasi kerapatan elektron dari beberapa menit sampai beberapa jam. Akibatnya ketinggian pembiasan dan MUF  bervariasi secara cepat. Dampak terhadap KOMRAD biasanya tidak terlalu serius. TID terbesar terjadi di wilayah zona aurora (kutub), kemudian menjalar ke wilayah ekuator. Proses cuaca di permukaan seperti thunderstorm akan menyebabkan peredaman terhadap TID.


Selain keempat gangguan ada dua gangguan lagi yang sifatnya transien yaitu E sporadis (Es) dan spread F. Akan dibahas berikutnya.


Catatan : Sebagian besar gambar bersumber dari NASA

Mesosfer = Lapisan Atmosfer Terdingin, Tapi Membakar Meteor?

Sudah ada mesosfer setebal 20 kilometer, eh masih banyak juga meteor-meteor yang nyelonong menyambangi permukaan bumi kita seperti di Teluk Bone dan Duren Sawit (Jakarta) baru-baru ini. Gimana kalau nggak ada sama sekali ya.. wah pastinya kehidupan di bumi ga mungkin ada. By the way, ngerasa aneh ga sih, geosciensters, bukannya mesosfer itu lapisan terdingin dengan suhu sampai -100°C, tapi kok bisa “membakar” meteor?

Photobucket


Sebenarnya ini ga aneh loh, geosciensters. Jawabannya: gesekan.

Pernah kan, waktu udara dingin, kamu menggosokkan kedua telapak tanganmu biar hangat? Begitu jugalah cara kerja mesosfer. Mesosfer memiliki cukup densitas untuk “menggosok” meteor-meteor yang masuk ke bumi sampai terbakar. Apalagi meteor-meteor itu jatuh bebas dengan kecepatan yang luar biasa, bisa dibayangkan gaya geseknya besar sekali!

Pertanyaannya: mengapa yang membakar meteor bukan lapisan termosfer saja, yang jauh lebih panas?

Sebenarnya, termosfer dan eksosfer itu tidak sepanas yang diberitakan!
Kalau kamu membawa thermometer biasa ke atas sana dan mengukur suhunya, kamu akan dapatkan hasil pengukuran yang super dingin! Kok bisa?

Seperti yang kamu tahu, makin panas suatu zat, maka gerak partikelnya semakin cepat. Partikel-partikel udara di termosfer bagian tengah sampai eksosfer bergerak sangat cepat, secepat partikel yang bersuhu ratusan derajat Celcius. Tapi, udara disana tipiiiiiiis sekali dengan jumlah partikel sangat sedikiiiiiiit. Padahal kebanyakan energy yang diserap thermometer atau dirasakan oleh kulit/meteor berasal dari konduksi. Jadi, walaupun suhu partikel udaranya tinggi sekali, tetapi jumlahnya terlalu sedikit sehingga suhu lingkungannya rendah sekali. Begitu… Jadi meteor sih aman-aman saja melewati eksosfer dan termosfer yang “hot” sampai akhirnya dihadang si mesosfer yang “cool” . Hehehe.

Mesosfer itu ibarat pedang bermata dua (bagi manusia sih). Di satu sisi dia berjasa melindungi bumi dari bombardir meteor, tapi di sisi lain mesosfer bisa juga membakar pesawat luar angkasa yang kita luncurkan dengan biaya jutaan dolar. Solusinya? perlindungan ekstra. Badan pesawat ulang-alik/satelit dilapisi bahan-bahan yang tahan panas, seperti berilium, tungsten, karbon-karbon reinforsi,dan  karbon ablatif sehingga tahan dari gaya gesek nan hot dari mesosfer.

Mengapa Gejala Cuaca Terjadi di Lapisan Troposfer



Gejala cuaca seperti awan, petir, topan, badai, hujan terjadi pada troposfer. Karena pada lapisan tersebut terdapat terjadi penurunan suhu, dimana lapisan troposfer menyerap sedikit radiasi gelombang pendek matahari,sementara permukaan tanah memberikan panas pada lapisan troposfer yang ada di atasnya baik melalui konduksi, konveksi, adveksi, turbulensi, serta ada proses kondensasi dan sublimasi yang dilepaskan oleh uap air atmosfer.
Konduksi adalah proses pemanasan secara merambat atau bersinggungan.
Konveksi adalah : proses pemanasan secara vertikal.
Adveksi adalah : proses pemanasan secara horizontal.
Turbulensi adalah : proses pemanasan secara tidak beraturan.
Kondensasi adalah : proses pendinginan yang mengubah wujud uap air menjadi air.
Sublimasi adalah : proses perubahan wujud es menjadi uap air.

Ciri – ciri lapisan troposfer :
  • Pertukaran panas banyak terjadi pada troposfer bawah, sehingga suhu turun dengan bertambahnya ketinggian pada situasi meteorologi, ilmu tentang cuaca. Nilainya berkisar antara 0,5°C dan 1°C tiap 100 meter dengan rata-rata 0,65°C tiap 100 meter. Di wilayah dataran rendah setiap kenaikan 100 meter, suhu akan mengalami penurunan 0,5° C.
  • Udara troposfer atas sangat dingin sehingga lebih berat dibandingkan dengan udara di atas tropopause yang menyebabkan udara troposfer tidak dapat menembus tropopause.
  • Ketinggian tropopause lebih besar di ekuator daripada di daerah kutub. Di ekuator, tropopause terletak pada ketinggian 18 km dengan suhu -80°C. Sedangkan di kutub tropopause hanya mencapai ketinggian 6 km dengan suhu -40°C. Tropopause adalah lapisan udara yang terdapat di antara troposfer dengan stratosfer.

Jumat, 14 Desember 2012

Tahukah kamu, bagaimana pelangi terbentuk?

 

Pelangi terbentuk karena pembiasan sinar matahari oleh tetesan air yang ada di atmosfir. Ketika sinar matahari melalui tetesan air, cahaya tersebut dibengkokkan sedemikian rupa sehingga membuat warna-warna yang ada pada cahaya tersebut terpisah. Tiap warna dibelokkan pada sudut yang berbeda, dan warna merah adalah warna yang paling terakhir dibengkokkan, sedangkan ungu adalah yang paling pertama. Fenomena ini yang kita lihat sebagai pelangi.

sumber : http://www.ceritakecil.com/ilmu-pengetahuan-dasar/artikel/Bagaimana-pelangi-terbentuk-2

Pengertian Atmosfer/Atmosfir, Komposisi, Fungsi/Manfaat Atmosfer Bumi



A. Arti Definisi/Pengertian Atmosfer (Atmosfir)
Atmosfer adalah lapisan udara yang terdiri dari campuran berbagai gas yang menyelimuti suatu planet baik planet bumi, merkurius, mars, jupiter, uranus, saturnus, venus, neptunus dan lain-lain. Atmosfer ada di sekeliling kita mulai dari permukaan tanah hingga jauh di angkasa sana.
B. Komponen Penyusun/Kandungan/Komposisi Atmostfer (Atmosfir) Bumi
- Nitrogen (N^2) : 78.08%
- Oksigen (O^2) : 20.95%
- Argon (Ar) : 0.93%
- Karbondioksida (CO^2) : 0.035%
- Neon (Ne) : 0.0018%
- Methan (CH^4) : 0.00017%
- Helium (He) : 0.0005%
- Hidrogen (H^2) : 0.000009%
- Xenon (Xe) : 0.000004%
C. Manfaat/Fungsi Lapisan Atmosfer (Atmosfir) Bumi
1. Melindungi bumi dari benda-benda angkasa yang jatuh ke bumi karena terkena gaya gravitasi bumi.
2. Melindungi bumi dari radiasi ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dengan lapisan ozon.
3. Mengandung gas-gas yang dibutuhkan manusia, hewan dan tumbuhan untuk bernafas dan untuk keperluan lainnya seperti oksigen, nitrogen, karbon dioksida, dan lain sebagainya.
4. Media cuaca yang mempengaruhi awan, angin, salju, hujan, badai, topan, dan lain-lain.

sumber : http://organisasi.org/pengertian-atmosfer-atmosfir-komposisi-fungsi-manfaat-atmosfer-bumi