skip to main |
skip to sidebar
BENARKAH IONOSFER DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MEMBUAT GEMPA BUATAN?
Gambar 1. Rangkaian antena radar HF yang dioperasikan oleh proyek HAARP
(High Frequency Active Auroral Research Program) di Gakona, Alaska.
1. Pendahuluan
Setiap kali terjadi gempa, terutama gempa-gempa besar, selalu ada sisi
lain media massa yang menghubungkannya dengan modifikasi cuaca antariksa
yang dibuat oleh HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program)
Project, suatu proyek penelitian kerjasama Universitas Alaska dengan
Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat, serta DARPA (Defense
Advanced Research Projects Agency). Informasi yang diperoleh dari
website HAARP (http://www.haarp.alaska.edu/) menyatakan bahwa proyek
tersebut bertujuan untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang
lapisan ionosfer, baik sifat-sifat fisis maupun perilakunya sehingga
dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan operasional sistem komunikasi dan
pengawasan (surveillance), untuk kepentingan sipil maupun pertahanan.
Tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut tentang kontroversi proyek
HAARP berkaitan dengan setiap peristiwa gempa, tapi akan membahas dari
sisi penelitian ionosfernya, mengingat Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) sebagai lembaga pemerintah, sudah berpuluh tahun yang
lalu juga melakukan penelitian ionosfer melalui kegiatan-kegiatan
penelitian yang dilaksanakan oleh bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,
Pusat Sains Antariksa.
Ionosfer adalah bagian dari atmosfer yang melingkupi bumi kita, pada
ketinggian antara 50 km sampai dengan 1000 km, dimana didalamnya
terdapat partikel-partikel bermuatan yang dinamis dan sangat dipengaruhi
radiasi ultra violet dari matahari. Ketika radiasi ultra violet
matahari mencapai atmosfer bumi maka radiasi tersebut akan memberikan
energi kepada atom atau molekul netral yang terdapat di atmosfer bumi,
sehingga satu elektronnya terlepas, hingga menyebabkan atom atau molekul
menjadi bermuatan positif. Proses demikian disebut dengan proses
fotoionisasi (pembentukan) dan proses tersebut hanya dapat berlangsung
pada siang hari, ketika ada sinar matahari. Keberadaan ion-ion positif
dan negatif inilah yang membuat lapisan tersebut dinamakan ionosfer.
Proses sebaliknya, disebut dengan proses rekombinasi (penghancuran).
Pada proses rekombinasi, elektron yang terlepas bergabung kembali
membentuk atom atau molekul netral. Selain proses fotoionisasi dan
rekombinasi, ada proses lain yang juga berpengaruh pada perilaku lapisan
ionosfer, yaitu proses perpindahan partikel yang terjadi misalnya
karena pengaruh perubahan medan listrik atau medan magnet bumi.
Perpindahan partikel ini juga berpengaruh pada karakteristik lapisan
ionosfer secara umum.
Ketika gelombang elektromagnetik mencapai lapisan ionosfer sebagian
energinya akan diserap oleh lapisan tersebut dan sebagian lagi akan
dipantulkan sehingga kembali lagi ke bumi dan sebagian lainnya akan
menembus lapisan ionosfer ke angkasa luar. Kemampuan ionosfer dalam
memantulkan gelombang elektromagnetik dapat dimanfaatkan untuk
operasional sistem komunikasi dan sistem pengawasan. Berkaitan dengan
komunikasi radio, parameter ionosfer yang penting dipahami adalah
kerapatan elektron, karena kemampuan ionosfer memantulkan gelombang
elektromagnetik sangat dipengaruhi oleh parameter tersebut. Semakin
tinggi kerapatan elektron, semakin tinggi pula frekuensi yang dapat
dipantulkannya. Frekuensi tertinggi yang dapat dipantulkan oleh lapisan
ionosfer dikenal sebagai frekuensi kritis lapisan ionosfer (foE, foF1,
dan foF2).
Gambar 2. Rangkaian antena radar HF dan ionogram hasil pengamatannya yang
dioperasikan LAPAN.
Hasil-hasil penelitian dengan memanfaatkan radar HF (ionosonda) yang
dioperasikan LAPAN menunjukkan adanya variasi yang sifatnya reguler dari
parameter frekuensi kritis lapisan F2 (foF2), yaitu variasi harian,
variasi musiman, variasi jangka panjang, dan variasi akibat perbedaan
lokasi. Pemahaman akan berbagai sifat dan
variasi dari lapisan ionosfer tersebut ditambah lagi dengan pemahanan
tentang ketidakstabilan lapisan ionosfer (misalnya E sporadis dan spread
F) akan bermanfaat untuk mitigasi gangguan komunikasi dan sistem
pengawasan yang disebabkan aktivitas matahari (flare, CME, SEP, CIR, dan
lain-lain). Caranya adalah dengan memasukkan faktor pengaruh aktivitas
matahari tersebut ke dalam model prediksi maupun model lapisan ionosfer
sehingga akurasi model akan meningkat. Kemampuan lapisan ionosfer
memantulkan gelombang elektromagnetik ini juga yang dianggap dapat
dimanfaatkan untuk membangkitkan gempa. Benarkah demikian?
2. Penelitian lapisan ionosfer dikaitkan dengan kejadian gempa
Kembali ke proyek HAARP (High Frequency Active Auroral Research
Program); Beberapa alat untuk memonitor kondisi fisis lapisan ionosfer
dan magnetosfer telah dioperasikan untuk melihat pengaruhnya terhadap
sistem komunikasi dan navigasi. Alat-alat tersebut antara lain riometer,
magnetometer, digisonda, all-sky imager, teleskop, radar, alat penerima
sintilasi ionosfer, GPS TEC meter, HF sampai UHF monitor, serta
penerima gelombang ELF/VLF. Dengan memonitor keluaran dari masing-masing
alat tersebut setiap hari kemudian dihubungkan dengan kondisi propagasi
gelombang radio maka akan diperoleh informasi tentang karakteristik dan
perilaku lapisan ionosfer.
Pusat Sains Antariksa LAPAN juga telah memanfaatkan beberapa alat
seperti yang dioperasikan HAARP antara lain teleskop untuk penelitian
fisika matahari, magnetometer untuk melihat dinamika lapisan
magnetosfer, kemudian all-sky imager, radar, ionosonda, GPS TEC meter,
penerima sintilasi ionosfer, dan direncanakan dalam tahun ini akan
dioperasikan alat penerima gelombang VLF. Hal yang sangat berbeda dari
peralatan penelitian lapisan ionosfer dalam proyek HAARP dibandingkan
proyek lainnya, terutama program penelitian di LAPAN adalah digunakannya
sistem pemancar dengan daya yang besar dan rangkaian antenna dipol yang
juga sangat besar.
Dengan memanfaatkan pemancar gelombang radio HF (High Frequency) berdaya
tinggi (3,6 juta Watt) yang diterima oleh suatu sistem antena dipol ke
arah atas, sebagian sinyal diserap oleh lapisan ionosfer pada ketinggian
tertentu (tergantung pada frekuensi kerja yang digunakan), maka ingin
diketahui bagaimana lapisan ionosfer memberikan respon terhadap sinyal
tersebut. Intensitas sinyal HF (High Frequency) dalam lapisan ionosfer
kurang dari 3 mikro Watt/cm2, puluhan ribu kali lebih kecil dari radiasi
elektromagnetik matahari yang mencapai bumi dan ratusan kali lebih
kecil dari intensitas energi ultra violet matahari yang membentuk
lapisan ionosfer. Dengan demikian tidak beralasan kalau intensitas
sinyal HF (High Frequency) tersebut ketika dipantulkan kembali ke bumi
akan menyebabkan terjadinya gempa. Besarnya daya yang digunakan dalam
pemancar lebih disebabkan oleh pertimbangan teknis yaitu untuk
menghindarkan terjadinya gangguan interferensi pengguna gelombang radio
yang lain.
Masih berkaitan dengan kejadian gempa, sebenarnya lapisan ionosfer
banyak diteliti bukan karena dapat dimanfaatkan untuk membuat gempa
buatan, tetapi berdasarkan hasil-hasil penelitian diketahui bahwa
sebelum gempa terjadi, lapisan ionosfer menunjukkan adanya kelainan
(anomaly). J.Y. Liu., dkk (2004) menemukan adanya anomaly TEC (Total
Electron Content) yang diturunkan dari data GPS untuk kejadian gempa
dengan magnitude lebih besar dari 6 skala Richter, dari September 2009
sampai dengan Desember 2002. Hasil serupa juga diperlihatkan untuk
peristiwa gempa Aceh, Desember 2004 dan Maret 2005 (Sarmoko. S., dkk,
2007). LAPAN juga terlibat aktif dalam penelitian prekursor gempa
dengan mengadakan International Workshop on Seismo Electromagnetic
Phenomena (IWSEP) bekerjasama dengan LIPI dan Chiba University (Jepang).
Tidak berhenti sampai disitu, saat ini Pusat Sains Antariksa LAPAN
berencana akan mengoperasikan penerima gelombang VLF, yang salah satu
manfaatnya adalah untuk penelitian prekursor gempa.
Di lapisan atmosfer atas bumi terdapat lapisan magnetosfer dengan
berbagai fenomena gelombang yang penting dipelajari karena pengaruhnya
terhadap perilaku magnetosfer sendiri dan sebagian dapat digunakan
sebagai sarana untuk mengamati atmosfer atas. Salah satu yang penting
untuk dipelajari adalah adanya gelombang whistler. Radiasi mode whistler
terdiri dari gelombang elektromagnetik yang memiliki batas atas
frekuensi cutoff yang juga merupakan frekuensi plasma (fp) atau
gyrofrekuensi (fg). Gelombang whistler dibangkitkan oleh aktivitas petir
yang kemudian menjalar sepanjang garis-garis medan magnet dan akan
terdispersi sehingga terekam sebagai spektrum whistler.
Gambar 3. Ilustrasi gelombang Whistler
Dengan menganalisis kurva dispersi gelombang whistler maka akan
diperoleh informasi mengenai mediumnya yaitu magnetosfer meliputi
densitas elektron, Total Electron Content (TEC), dan medan listriknya.
Beberapa fenomena yang terjadi berkaitan dengan kelistrikan di lapisan
ionosfer antara lain disebabkan oleh flare, sinar cosmic gamma,
Lightning Induced Elektron Precipitation (LEP), dan Sprite, Elves, serta
Blue Jets.
Gambar 4. Mekanisme terjadinya sprite, elves, dan blue jets
Pengamatan gelombang VLF subionosfer akan memberi informasi tentang
lapisan bawah ionosfer yang tidak dapat teramati oleh alat lainnya,
karena densitas elektron malam hari lapisan D umumnya sekitar 1 s.d 10
el/cc, radar HF atau VHF tidak dapat mengamati lapisan D pada malam
hari, ketinggian pantulan gelombang VLF menjalar dalam lapisan ionosfer
adalah sekitar 85 km, dan amplitudo/Phase sinyal VLF sangat sensitif
terhadap konduktivitas.
Pengamatan gelombang VLF bertujuan untuk memahami mekanisme pembentukan
dan penjalaran gelombang VLF di lintang rendah, mengamati tren jangka
panjang parameter
seperti densitas elektron, TEC, dan medan listrik selama periode
matahari aktif maupun tenang, memahami keterkaitan antara aktivitas
gelombang VLF dan aktivitas geomagnet, mengamati lapisan ionosfer bawah,
petir, dan thunderstorm, serta meneliti kemungkinan gelombang VLF
sebagai prekursor gempa bumi.
3. Alat penerima gelombang VLF
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa dalam waktu
dekat akan menambah satu lagi alat yang akan medukung penelitian lapisan
ionosfer yaitu alat penerima gelombang VLF. Komponen utama alat ini
terdiri dari antenna, tuning antenna, penerima (receiver), generator
sinyal, data logging, dan starbase controller.
Secara sederhana alat ini memanfaatkan karakteristik lapisan D ionosfer.
Seperti diketahui bahwa pada lapisan D, proses ionisasi sangat
tergantung pada radiasi matahari siang hari, sehingga gelombang VLF akan
dapat dipantulkan secara baik . Sedangkan pada malam hari karena
radiasi mulai berkurang maka gelombang VLF tidak dapat dipantulkan
dengan baik. Penjalaran gelombang VLF akan berbeda lagi saat terjadi
flare, dimana pada lapisan D terjadi peningkatan proses ionisasi, bahkan
terjadi gangguan di lapisan ionosfer yang disebut dengan istilah Sudden
Ionospheric Disturbance (SID). Hal yang serupa tentu akan terdeteksi
pada sinyal gelombang VLF bila akan terjadi gempa. Oleh karena itu data
penerima sinyal VLF setiap saat dapat digunakan untuk memonitor kondisi
lapisan ionosfer dan diharapkan akan memberi informasi tentang prekursor
gempa.
Berikut adalah beberapa contoh data sinyal hasil penerima gelombang VLF yang dapat menggambarkan kondisi lapisan ionosfer :
Gambar 5. Grafik kuat sinyal gelombang VLF terhadap waktu.
Terlihat dari Gambar 5 kuat sinyal pada malam hari sedikit berfluktuasi
dan mencapai titik terendah pada sekitar jam 06:00 UT. Radiasi matahari
yang mulai mencapai permukaan bumi pada jam-jam berikutnya juga terlihat
responnya pada data sinyal VLF.
Gambar 6. Grafik kuat sinyal gelombang VLF terhadap waktu.
Gambar 6 menunjukkan respon sinyal gelombang VLF terhadap flare kelas A
sampai C. Flare yang terjadi pada sekitar jam 11:00 UT didahului oleh
adanya penurunan tajam dalam kuat sinyal gelombang VLF, kemudian
diikuti proses recovery yang lambat. Untuk peristiwa flare dengan kelas
yang lebih besar (kelas X) tentu saja penurunan tajam kuat sinyal juga
akan terjadi dan proses recoverynya akan membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan responnya terhadap flare kelas A sampai C seperti
terlihat pada Gambar 7. Dengan metode yang sama, data kuat sinyal VLF
ini dapat dimanfaatkan untuk penelitian prekursor gempa.
Gambar 7. Grafik kuat sinyal gelombang VLF terhadap waktu.
4. Kesimpulan
Dari keseluruhan tulisan ini dapat disimpulkan bahwa penelitian lapisan
ionosfer semata untuk memahami karakteristik fisik dan perilakunya baik
yang sifatnya teratur maupun tidak teratur sehingga dapat dimanfaatkan
untuk mitigasi gangguan sistem komunikasi, navigasi, maupun pengawasan,
terutama yang disebabkan oleh aktivitas matahari. Selain itu pemahaman
tentang adanya respon ionosfer terhadap gempa juga akan bermanfaat dalam
penelitian prekursor gempa. Perannya sebagai prekursor gempa saja masih
dalam penelitian, bagaimana mungkin ionosfer dapat digunakan untuk
membuat gempa?
0 komentar:
Posting Komentar